Sabtu, 24 November 2012

Teori Belajar

Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.

Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.

Teori Belajar Kognitif 
Dalam bab sebelumnya telah dikemukan tentang aspek aspek perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu tahap (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
• Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
• Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
• Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
• Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
• Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).

Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8). 


Teori Belajar Humanistik
Humanistik berpendapat bahwa belajar itu berlangsung berdasarkan kondisi internal seseorang dan interaksinya dengan lingkungan. Setiap orang akan mengembangkan dirinya sesuai jati dirinya yang selaras dengan lingkungan.

LANDASAN ORGANISATORIS PENGEMBANGAN KURIKULUM



Faktor- faktor yang perlu diperhatikan dalam organisatoris kurikulum yaitu :

a.    Ruang lingkup (Scope), mencakup materi dan pengalaman belajar. Menyangkut jawaban atas pertanyaan : “materi dan pengalaman belajar apa yang harus diajarkan? Berapa jauh ruang lingkup dan organisasi materi itu harus ditetapkan untuk mencapai tujuan?”.

b.    Integrasi atau keterpaduan, menyangkut mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain yang terkait. Bertujuan untuk membantu peserta didik melihat kesatuan yang ada antara semua materi pelajaran yang terkait. Yang berhubungan dengan bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang diterima siswa dapt memberikan bekal dalam menjawab tantangan hidupnya setelah siswa menyelesaikan program pendidikan disekolah.

c.  Urutan Bahan (Sequence) menyangkut usaha untuk menghasilkan belajar kumulatif dan berkelanjutan secara vertikal. Berhubungan dengan berhubungan dengan urutan penyusunan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa agar proses belajar dapat berjalan dengan lancar. Urutan bahan meliputi dua hal: pertama, urutan isi bahan pelajaran dan kedua, urutan pengalaman belajar yang memerlukan pengetahuan tentang perkembangan anak dalam menghadapi pelajaran tertentu.

d.    kontinuitas, menyangkut hubungan vertikal materi/kegiatan belajar. Contoh: untuk mengembangkan kemampuan menulis, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk latihan terus-menerus dan berulang-ulang. berhubungan dengan kesinambungan bahan pelajaran tiap mata pelajaran, pada tiap jenjang sekolah dan materi pelajaran yang terdapat dalam mata pelajaran yang bersangkutan. Kontinuitas ini dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif .

e.    Kriteria keseimbangan, memperhatikan agar ada tekanan yang seimbang pada semua aspek yang ada. Keseimbangan dicapai kalau semua peserta didik berkesempatan memahami materi, baik pada aspek personal, sosial maupun intelektual.  faktor yang berhubungan dengan bagaimana semua mata pelajaran itu mendapat perhatian yang layak dalam komposisi kurikulum yang akan diprogramkan pada siswa. Keseimbangan dalam kurikulum dapat ditinjau dari dua segi yakni keseimbangan isi atau apa yang dipelajari, dan keseimbangan cara atau proses belajar.

Berdasarkan  struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan.


 Hal ini berkaitan erat dengan tujuan pendidikan, isi pelajaran, dan strategi pembelajarannya):
(1) subject-curriculum,
    a. Saparated Curriculum,
    b. correlated curriculum,
(2) integrated-curriculum.

* catatan yang harus diingat, bahwa pembedaan tersebut lebih bersifat teoretis, karena pada kenyataannya tidak ada kurikulum yang secara mutlak dikembangkan dengan hanya salah satu bentuk saja dengan tanpa mengaitkannya dengan yang lain.



1. Subject Curriculum
          A. saparated Curriculum
1. Konsep dasar separate subject curriculum
          Kurikulum ini menekankan penyajian bahan pelajaran dalam bentuk bidang studi atau mata pelajaran. Masing-masing mata pelajaran ditetapkan berdasarkan disiplin keilmuan. Isinya ialah pengetahuan yang telah tersusun secara logis dan sistematis dari masing-masing bidang keilmuan. Antarmata merupakan unsur yang terpisah-pisah. Tak ada pengaitan antarsatu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain.

*Penetapan materi pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, dilakukan untuk
mencapai empat keterampilan berbahasa saja (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Mengenai apa yang disimak, yang dibicarakan, yang dibaca, dan yang ditulis bebas saja, bisa mengenai energi, masyarakat, dll., tanpa dikaitkan dengan isi mata pelajaran lain, yang terkait sekalipun (fisika dan sosiologi). Yang penting, apa yang tersajikan dalam mata pelajaran itu sistematis secara internal mata pelajaran itu sendiri.

          Jumlah mata pelajaran dan alokasi waktu yang diberikan bervariasi, sesuai dengan tingkat dan jenis sekolah.Tingkat-tingkat sekolah sebagaimana kita ketahui adalah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Sementara jenis sekolah biasanya mengacu pada sekolah umum dan sekolah kejuruan. Masing-masing tingkat dan jenis sekolah memerlukan cakupan dan spesifikasi bahan pelajaran yang berbeda-beda. Bahan pelajaran itu selanjutnya dipilah-pilah berdasarkan satuan kelas dan semesternya. Dengan demikian, pengorganisasian separate-subject curriculum benar-benar disusun dengan berorientasi pada mata pelajaran (subject centered).

          Pengorganisasian kurikulum ini dilatarbelakangi oleh pandangan ilmu jiwa asosiasi, yang mengharapkan terbangunnya kepribadian yang utuh berdasarkan potongan-potonganpengetahuan. Kurikulum bentuk terpisah ini sangat menekankan pada pembentukan intelektual dan kurang mengutamakan pembentukan kepribadian anak secara keseluruhan. penyusunan separate-subject curriculum biasanya dilakukan tim pengembang yang telah ditunjuk di tingkat nasional. Tim ini menentukan seluruh pengalaman edukatif, luas bahan pelajaran (scope) yang harus disajikan dan dipelajari siswa, serta waktu penyajian bahan pelajaran.
          Hal lain yang penting dalam pengorganisasian kurikulum ialah pengurutan  (sequence) bahan pelajaran. Pengurutan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga benar-benar terjaga kesinambungan bahan. Harus dihindari keterulangan bahan pelajaran yang sudah pernah dipelajari siswa di kelas sebelumnya, dan keterlewatan bahan pelajaran. Sebelumnya telah dibahas bahwa penyusunan kurikulum jenis ini dilakukan oleh tim. Tim ini terdiri atas para tokoh dan ahli pendidikan serta para ahli dalam disiplin keilmuan tertentu. Mereka inilah yang menetapkan apakah yang diperlukan siswa kelak dalam kehidupannya di masyarakat. Jadi, dalam kurikulum ini memang sudah ditetapkan pengalaman-pengalaman apa saja yang akan ditempuh siswa dalam belajar. Oleh karena itu, biasanya bahan pelajaran dan bahkan buku pelajarannya, telah disiapkan sebelumnya.

*Terdapat sejumlah persoalan yang muncul sebagai akibat pengorganisasian kurikulum seperti ini.
 Pertama, karena dibangun oleh tim khusus, apalagi tingkat nasional, maka bisa dibayangkan adanya keseragaman yang terjadi. Untuk negara Indonesia yang begitu luas, dari Sabang hingga Merauke, menggunakan kurikulum yang sama. Padahal, daerah-daerah di wilayah Indonesia ini sangat berbeda kondisinya.

Kedua, keberadaan buku pelajaran (paket) kerap menimbulkan salah penyikapan bahwa kurikulum itu buku pelajaran. Pada kasus ini terjadilah penyempitan substansi. Keadaan ini biasanya menimpa guru yang tidak profesional. Apa pun yang terjadi, yang diajarkan dan disajikan kepada para siswa hanya buku paket itu saja. Sebaliknya, bagi guru  yang profesional, ia tidak akan menggunakan buku (paket) saja. Dia tentu akan menambah referensi lain untuk memperkaya, memperdalam, dan menyesuaikan bahan pelajaran yang diajarkan selaras dengan kebutuhan siswa.

2. Kelebihan separated-subject curriculum.

a. Bahan pelajaran tersajikan secara logis dan sistematis
          Dalam kurikulum ini, bahan telah disiapkan dan disusun secara sistematis, logis, dan berkesinambungan. Penyusunan bahan telah menggunakan urutan yang tepat, dari yang mudah menuju yang sukar, dari yang sederhana menuju yang kompleks. Ilmu pengetahuan yang akan disampaikan kepada anak sudah dalam urutan logis sebagaimana yang telah ditata dan dipikirkan oleh para ahli. Dengan demikian, penggunaan kurikulum ini akan memudahkan guru dalam menyajikan materi, dan dipandang lebih efektif dan efisien, karena pihak sekolah dan guru tinggal menyampaikan saja.

b. Organisasi kurikulum sederhana serta mudah direncanakan dan dilaksanakan
          Karena tiap mata pelajaran disikapi sebagai suatu satuan yang otonom, maka perhatian dan penyusunan bahan hanya sebatas mata pelajaran itu sendiri. Keseder-hanaan inilah yang menjadikan kurikulum mudah disusun dan dilaksanakan oleh para pengembang maupun guru. Kurikulum ini juga mudah
untuk direorganisasi, ditambah, atau dikurangi. Penentuan jumlah, cakupan, dan
urutan mata pelajaran tidak seberapa menimbulkan banyak masalah Dalam pelaksanaan kurikulum, guru umumnya dapat berpegang pada buku pelajaran yang telah ditentukan, dan mengajarkannya bab demi bab. Apa yang diajarkan sudah ditentukan lebih dahulu, sehingga guru dapat menyesuaikan jumlah waktu yang ditentukan dengan bahan pelajaran yang tersedia.

c. Kurikulum mudah dinilai
          Kurikulum ini utamanya bertujuan menyampaikan sejumlah pengetahuan, pengertian, dan kecakapan-kecakapan tertentu yang mudah dinilai dengan tes.
Bahan pelajaran pun bisa ditentukan dengan menetapkan buku-buku pelajaran
yang harus digunakan oleh suatu daerah, atau bahkan satu negara. Hal ini akan memudahkan dilakukannya ujian umum yang sama dalam satu wilayah negara. Dengan mudahnya pelaksanaan ujian, maka mudah pula mendapatkan data
seandainya diperlukan perubahan-perubahan. Misalnya bila materi sudah tidak
sesuai dengan tuntutan zaman, baik menyangkut keseluruhan komponen bahan
ataupun sebagian, maka dengan segera dapat dilakukan perubahan atau penyesuai-an isi kurikulum.

d. Memudahkan guru sebagai pelaksana kurikulum
          Umumnya pendidikan guru mempersiapkan calon guru/guru (tingkat sekolah lanjutan) untuk mengajarkan mata pelajaran tertentu. Dengan kurikulum ini, apa yang akan diajarkan guru sejalan betul dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya saat kuliah. Lebih-lebih bila mereka telah memiliki pengalaman mengajar bertahun-tahun. Mereka menjadi sangat menguasai bahan pelajaran dan lebih merasa aman dengan menggunakan kurikulum subject-centered ini.

e. Kurikulum ini juga dipakai di perguruan tinggi
          Manajemen kurikulum di terguruan tinggi pada umumnya menerapkan speparated subject curculum. Mahasiswa mempelajari bidang keilmuan secara terkonsentrasi. Karena saat di sekolah menengah mereka juga diajar dengan menggunakan model kurikulum yang sama, maka para siswa lulusan sekolah
menengah yang melanjutkan ke perguruan tinggi telah terbiasa dengan belajar
dalam situasi kurikulum seperti ini.

f. Kurikulum ini mudah diubah
          Perubahan kurikulum yang terjadi umumnya didasarkan pada organisasi mata pelajaran. Penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan zaman biasanya dilakukan dengan menambah mata pelajaran, bisa juga meluaskan atau menyempitkan materi pelajaran. Hal seperti ini tentu akan mudah dilaksanakan pada kurikulum yang diorganisasikan dengan cara separated subject curiculum, karena masing-masing mata pelajaran bersifat terpisah. Dengan demikian penambahan, pengurangan, ataupun cakupan materi pun tidak akan mengganggu pelajaran lain.

3. Kelemahan Separate-Subject Curriculum

a. Mata pelajaran terpisah-pisah
          Mata pelajaran dalam kurikulum ini diberikan secara terpisah-pisah. Tidak ada upaya menghubungkan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Hal ini menjadikan peserta didik akan menerima pengetahuan secara terpisah-pisah, dalam konsentrasi masing-masing mata pelajaran. Padahal, berbagai persoalan kehidupan yang riil umumnya perlu dihadapi dengan pengetahuan yang menyeluruh atau terpadu. Dengan demikian, anak masih sering mengalami kegagapan pada saat menghadapi persoalan sehari-hari dengan berbagai konteksnya.

b. Kurang memperhatikan masalah kehidupan sehari-hari
          Penyampaian kurikulum ini semata-mata menggunakan pendekatan ilmu
pengetahuan. Bahkan kadang-kadang materi yang dipelajari siswa tidak ada
relevansinya dengan kebutuhan hidup. Bila anak sudah bisa memecahkan permasalahan-permasalahan di sekolah dianggap dengan sendirinya akan mampu mentransformasikannya dalam menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari. Padahal, kenyataan hidup di luar sekolah berbeda sekali dengan apa yang biasa terjadi di sekolah.

c. Cenderung statis dan ketinggalan zaman
          Karena pengetahuan dianggap sebagai hal yang telah ditemukan orang masa lalu, maka kegiatan belajar siswa di sekolah hanya mempelajari apa yang sudah ada dan disiapkan. Akibatnya, buku pelajaran yang digunakan pun bisa berlaku bertahun-tahun, tanpa pernah melakukan revisi. Bila ini yang terjadi, maka semuanya akan menjadi statis. Buku pegangan guru tetap itu-itu saja. Padahal, kehidupan manusia terus berkembang secara dinamis. Apa yang dianggap benar pada masa lalu, belum tentu dianggap benar pada masa sekarang. Apalagi bila ada guru “tertutup” yang fanatik pada satu buku, karena buku itulah yang dulu dipelajarinya, maka dianggaplah apa yang ada dalam buku itu yang paling benar
.
d. Tujuan kurikulum sangat terbatas
          Separated subject curriculum hanya menekankan pada aspek intelektual, dan mengabaikan aspek emosional dan sosial. Padahal, ketiga aspek itu sama
pentingnya bagi tumbuh-kembang siswa secara utuh. Karena hanya menekankan aspek intelektual, maka anak akan mengalamai persoalan pada saat harus terjun ke masyarakat untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Materi pelajaran pun disamaratakan untuk semua peserta didik, tanpa memperhatikan perbedaan individu. Karena itu pula, kurikulum separated subject curriculum dipandang tidak demokratis.



B. Correlated-Subject Curriculum

1. Konsep Dasar Correlated Subject Curriculum

          Correlated subject curriculum dikembangkan dengan semangat menata/
mengelola keterhubungan antarberbagai mata pelajaran. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan kehidupan bahwa tak ada satu fenomena pun yang terlepas dari fenomena lainnya. Tidak mungkin kita membicarakan suatu mata pelajaran tanpa menyinggung sama sekali mata pelajaran yang lain. Untuk itulah diperlukan kurikulum yang dapat memberikan pengalaman belajar yang dapat menghubungkan satu pelajaran dengan pelajaran lain. Kurikulum ini diharapkan dapat membangun keterpaduan pengetahuan dan pengalaman belajar yang diperolehnya. Dalam mata pelajaran fisika, misalnya, terdapat bahasan mengenai listrik. Persoalan listrik tentu terkait dengan lingkungan alam, ekonomi, dan juga sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu pula, ketika berbicara tentang listrik dalam pelajaran Fisika, dapat pula dikaitkan dengan listrik sebagai sesuatu yang bernilai materi dalam pelajaran Ekonomi, dan listrik sebagai sumber energi yang dapat mempermudah kehidupan manusia dalam mata pelajaran Sosiologi. Namun demikian, pengaitan antarmata pelajaran itu tidak menghilangkan eksistensi dari masing-masing mata pelajaran yang dihubungkan.
          Adanya upaya menata keterhubungan antara berbagai mata pelajaran inilah yang kemudian melahirkan bentuk kurikulum yang dikenal dengan correlated subject.
*yang harus dicatat, bahwa dalam correlated subject ini tidak berarti kita memaksakan adanya hubungan antarsejumlah mata pelajaran. Kita harus tetap sadar dan mempertahankan adanya batas-batas yang ada.

Upaya menghubungkan antarmata pelajaran dapat dilakukan dengan berbagai
cara berikut:
a. Menghubungkan secara insidental
          Pengaitan antarmata pelajaran terjadi karena kasus kebetulan. Misalnya, saat dua atau lebih guru bidang studi saling mengamati kurikulum atau bahan pelajaran yang ada, para guru tersebut melihat adanya bahan pelajaran yang satu sama lain dapat dihubungkan.

b. Menghubungkan secara lebih erat dan terencana
          Pengaitan antarmata pelajaran disebabkan oleh adanya suatu pokok bahasan atau permasalahan yang dapat dibahas dari berbagai macam mata pelajaran  Misalnya, masalah etika, moral, dan kependudukan dibicarakan dalam mata pelajaran PKn, Bahasa Indonesia, IPS, dan Agama. Pengaitan antarbahan pelajaran itu dilakukan secara terencana, bukan kebetulan. Satu topik yang sama disoroti dari sudut pandang masing-masing mata pelajaran. Namur demikian, setiap mata pelajaran tetap diberikan secara sendiri-sendiri dalam jam yang berbeda.

c. Menghubungkan beberapa mata pelajaran dengan menghilangkan batas yang ada
          Pengaitan antarpelajaran dilakukan dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran sehingga menghilangkan batas yang ada antarmata pelajaran. Beberapa pelajaran yang sama dipadukan menjadi satu dengan satu nama mata pelajaran. Misalnya pada kurikulum 2006 kita kenal ada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang pada dasarnya di dalamnya terdiri atas beberapa bahan/materi pelajaran ekonomi, geografi, dan sejarah. Contoh lain bisa kita sebut mata pelajaran Matematika, yang merupakan penggabungan dari mata pelajaran berhitung, aljabar, dan ilmu ukur. Penggabungan beberapa mata pelajaran ini lazim disebut broad-fields, yang sebenarnya berarti suatu kesatuan yang tidak terbagi dalam bagian-bagian. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggabungan itu masih sebatas pada kumpulan bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang bahan/materi pelajarannya dikurangi. Oleh karenanya, broad-fields ini sebenanya masih bersifat subject centered (berorientasi pada mata pelajaran), hanya saja telah dimodifikasi dari bentuknya yang tradisional.

2. Kelebihan Correlated Curriculum
a. Mendukung keutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar murid
          Siswa tidak menerima pelajaran dalam satuan/bahasan yang terpisah-pisah. Mereka mempelajari suatu permasalahan yang disoroti dari berbagai sudut yang saling berhubungan, yaitu melalui berbagai mata pelajaran. Dengan demikian, pengetahuan dan pengalaman anak didik diharapkan dapat lebih luas.

b. Memungkinkan penerapan hasil belajar yang lebih fungsional
          Adanya keterkaitan antarmata pelajaran menjadikan pengetahuan dan
pengalaman belajar siswa dapat diterapkan lebih fungsional. Pengaitan antarmateri pelajaran lebih mengutamakan prinsip-prinsip daripada penguasaan fakta-fakta. Dengan prinsip-prinsip yang diolah dari berbagai mata pejaran inilah anak didik dapat lebih terbuka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya secara lebih komprehensif.

c. Meningkatkan minat belajar siswa
          Pemahaman tentang adanya keterkaitan antarmata pelajaran dapat menjadi modal bagi tumbuhnya minat belajar siswa. Mereka akan merasa apa yang dipelajari pada mata pelajaran tertentu memiliki manfaat dalam mata pelajaran yang lain.

3. Kelemahan Correlated Subject Curriculum
a. Kurikulum masih bersifat subject centered
          Sifat kurikulum yang subject centered (berpusat pada subjek/mata pelajaran) menjadikan bahan pelajaran disusun berdasarkan pada struktur ilmu pengetahuan. Artinya, bahan mata pelajaran dalam kurikulum belum memiliki orientasi pada minat-bakat dan kebutuhan sehari-hari siswa (child centered).

b. Kurang memberikan pengetahuan yang sistematis dan mendalam
          Penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi satu kesatuan lingkup yang lebih luas tidak memberikan pengetahuan yang sistematis dan mendalam.
Bagaimana-pun, pembicaraan mengenai suatu pokok masalah dalam sejumlah
berbagai mata pelajaran tetap tidak padu, karena pada dasarnya masing-masing
memang merupakan subject (mata pelajaran) yang berbeda. Dengan dikuranginya bahan/materi (juga jam) pelajaran, maka pengetahuan yang dikuasai anak didik menjadi dangkal.

c. Menuntut pendekatan interdisipliner
          Para guru, khususnya untuk sekolah lanjutan, umumnya disiapkan untuk
mengajar satu mata pelajaran tertentu. Sulit bagi mereka untuk menerapkan pendekatan interdisipliner, yang menuntut kesanggupan guru untuk dapat berpandangan dan berpikir secara lintas disiplin.Guru pun masih sangat fanatik
terhadap disiplin atau mata pelajaran pokok yang diasuhnya. Kalaupun menggunakan mata pelajaran lain, hal itu kerap disikapi sebagai pelajaran pembantu.



2. Integrated Curriculum

1. Konsep Dasar Integrated Curriculum
          Ciri pokok dari integrated curriculum ini adalah tiadanya batas atau sekat
antarmata pelajaran. Semua mata pelajaran dilebur menjadi satu dalam bentuk unit. Oleh karena itu, kurikulum ini disebut juga sebagai kurikulum unit. Kalau dalam correlated subject curriculum masing-masing mata pelajaran masih menampakkan eksistensinya, maka dalam integrated curriculum ciri-ciri setiap mata pelajaran hilang sama sekali. Namun, jangan disalahpahami. Integrated curriculum tidak sekedar berupa keterpaduan bentuk yang melebur berbagai mata pelajaran, melainkan juga aspek tujuan yang akan dicapai dalam belajar.
Melalui keterpaduan diharapkan dapat terbentuk pula keutuhan kepribadian
anak didik yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, apa yang diajarkan di sekolah harus benar-benar disesuaikan dengan situasi, masalah, dan kebutuhan kehidupan di masyarakat.

*Sebagai ilustrasi, kita bisa mengangkat persoalan listrik dalam masyarakat.
Persoalan listrik ini selanjutnya dibahas/dikupas dari berbagai perspektif secara
komprehensif: dari segi lingkungan alam, ekonomi, sosial, mekanika, dsb. Di sini mata pelajaran dilebur menjadi satu kesatuan unit bahasan yang tidak terpisah-pisah sebagaimana halnya dalam separated subject curriculummaupun corelated subject curriculum. Yang ada hanya perspektif dari ilmu alam, ekonomi, dan sosial, dsb. Di dalam unit pembelajaran harus terdapat hubungan antarberbagai kegiatan belajar siswa, dalam perspektif berbagai mata pelajaran. Hal itu dapat dicapai jika tujuan pembelajaran mengarahkan siswa untuk dapat memecahkan persoalan dengan menggunakan metode berpikir limiah (method of intelegence).
          Adapun mengenai pemilihan masalah, terdapat dua pendapat yang saling bertentangan. Yang pertama mengedepankan kebutuhan masyarakat (social-centered) dan yang kedua mengedepankan minat dan kebutuhan anak didik (child-centered). Namun demikian, pada dasarnya masih bisa diambil jalan tengah, yaitu dengan memilih masalah-masalah yang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak didik dengan tetap memperhatikan kebutuhan sosialnya.

*karakteristik/ ciri-ciri dari integrated curriculum.
a. Merupakan kesatuan utuh bahan pelajaran.
          Faktor yang menyatukan antarbahan pelajaran itu ialah masalah-masalah yang harus diselidiki dan dipecahkan anak didik. Seluruh bahan pelajaran digunakan untuk memecahkan masalah.

b. Unit disusun berdasarkan kebutuhan anak didik, yang bersifat pribadi maupun sosial, baik yang menyangkut kejasmanian maupun kerohanian. Dengan sistem unit ini sengaja ditingkatkan perkembangan sosial anak dengan cara berkerja sama melalui kerja kelompok.

c. Dalam unit, anak dihadapkan pada berbagai situasi yang mengandung permasalahan yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari (life centered) yangdikaitkan dengan pelajaran di sekolah. Dengan demikian, anak dilatih untuk memecahkan masalah dengan metode berpikir ilmiah, yang dilakukan dengan langkah-langkah:
(1) merumuskan masalah,
(2) mencari jawaban dengan mencari dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari buku ataupun sumber lain,
(3) menganalisis, mengamati dan melakukan percobaan,
(4) mengambil kesimpulan, dan
(5) melakukan tindakan sesuai dengan hasil yang diperoleh.

d. Unit mempergunakan dorongan-dorongan sewajarnya pada diri anak dengan
melandaskan diri pada teori-teori belajar. Anak diberi kesempatan melakukan
kegiatan sesuai dengan minatnya. Anak pun harus diikutsertakan dalam menetapkan pokok-pokok masalah yang akan dipelajarinya.

e. Pelaksanaan unit biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dari pada modelpelajaran biasa. Untuk memecahkan satu masalah bisa jadi diperlukan waktu berjam-jam.

2. Kelebihan Integrated Curriculum
a. Segala hal yang dipelajari dalam unit berkaitan erat satu sama lain. Bukan sekedar fakta-fakta terpisah, sehingga lebih fungsional bagi kehidupan anak.

b. Sesuai dengan teori baru mengenai belajar yang mendasarkan pada pengalaman,kematangan, dan minat anak. Anak terlibat secara aktif, berbuat, serta belajar bertanggung jawab.

c. Memungkinkan hubungan yang lebih erat antara sekolah dan masyarakat, karena masyarakat dapat menjadi laboratorium kegiatan belajar.

3. Kelemahan Integrated Curriculum
a. Tidak mempunyai organisasi yang logis dan sistematis. Bahan pelajaran tidak dapat ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh guru atau lembaga, melainkan harus dirancang secara bersama-sama dengan murid.

b. Para guru umumnya tidak disiapkan untuk menjalankan kurikulum dalam bentuk unit.

c. Pelaksanaan kurikulum unit sangat memerlukan waktu, serta dukungan peralatan dan sarana dan prasarana yang cukup.

d. Tidak memiliki standar hasil belajar yang jelas, sehingga sulit mengukur kemampuan anak secara nasional.


Makalah Pengantar Kurikulum Kelompok 4
Dosen: Dr. Khaerudin, M.Pd.
Wisnu Ari Susilo (1215120019)

LANDASAN SOSIOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM


Pengertian Landasan Sosial Budaya


Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat.
Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan.
Jika dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antrofologi, pendidikan adalah “enkulturasi” atau pembudayaan. “Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya.
Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut” (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997:58). Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan maka pendidikan memiliki peranan penting, karena itu kurikulum harus mampu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat dan mampu meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai mahluk yang berbudaya.
Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.

LANDASAN SOSIOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM

Sosiolologi mempunyai empat perenan yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Empat peranan sosiologi tersebut adalah berperan dalam proses penyesuaian nilai-nilai dalam masyarakat, berperan dalam penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat, berperan dalam penyediaan proses sosial, dan berperan dalam memahami keunikan individu, masyarakat dan daerah.

Dalam merumuskan tujuan kurikulum harus memahami tiga sumber kurikulum yaitu siswa (student), masyarakat (society), dan konten (content). Sumber siswa lebih menekankan pada kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan siswa pada tingkat pendidikan tertentu yang sesuai dengan perkembangan jiwa atau usianya. Sumber masyarakat lebih melihat kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, sedangkan sumber konten adalah berhubungan dengan konten kurikulum yang akan dikembangkan pada tingkat pendidikan yang sesuai. Dengan kata lain landasan sosiologi digunakan dalam pengembangan kurikulum dalam merumuskan tujuan pembelajaran dengan memperhatikan sumber masyarakat (society source) agar kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu, antar golongan, antar lembaga sosial atau masyarakat. Di dalam kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.
Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat perkembangan IPTEK. Sehingga masyarakat dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum.

Faktor pengembangan kurikulum dalam masyrakat

Ada beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengembangan kurikulum dalam masyrakat, antara lain ;

Kebutuhan masyarakat
Kebutuhan masyarakat tak pernah tak terbatas dan beraneka ragam. Oleh karena itu lembaga pendidikan berusaha menyiapkan tenaga-tenaga terdidik yang terampil yang dapat dijadikan sebagai penggali kebutuhan masyarakat.

Perubahan dan perkembangan masyarakat
Masayarakat adalah suatu lembaga yang hidup, selalu berkembang dan berubah. Perubahan dan perkembangan nilai yang ada dalam masyarakat sering menimbulkan konflik antar generasi. Dengan diadakannya pendidikan diharapkan konflik yang terjadi antar generasi dapat teratasi.

Tri pusat pendidikan
Yang dimaksud dengan tri pusat pendidikan adalah bahwa pusat pendidikan dapat bertempat di rumah, sekolah , dan di masyarakat. Selain itu mass media, lembaga pendidikan agama, serta lingkungan fisik juga dapat berperan sebagai pusat pendidikan.

Ruang lingkup pengembangan kurikulum dalam masyrakat
Lingkungan atau dunia sekitar manusia pada dasarnya terdiri dari tiga bagian besar, yaitu :
Dunia alam kodrat
Dunia alam kodrat merupakan segala sesuatu di luar diri kita yang berpengaruh sangat kuat dalam kehidupan kita, misalnya : penampakan alam (gunung,laut,dll). Untuk mengubah dan mengatasi pengaruh tersebut maka kita harus dapat menggunakan IPTEK dengan benar. Dengan demikian dalam mengembangkan kurikulum hendaknya kita berusaha untuk memasukkan masalah-masalah yang berupa gejala-gejala dalam alam kodrat.

Dunia sekitar benda-benda buatan manusia
Dunia sekitar benda-benda buatan manusia merupakan benda-benda yang diciptakan manusia sebagai alat pemuas kubutuhannya. Untuk itu keterampilan fisik dan psikis harus dikembangkan dalam pembelajaran, sehuingga dapat menghasilkan segala sesuatu yang menjadi sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat.

Dunia sekitar manusia
Merupakan dunia yang paling kompleks, sebab selalu berubah dan dinamis. Interaksi antar individu berjalan sangat aktif. Untuk itu diperlukannya norma dalam pergaulan masyarakat agar interaksi dalat berjalan dengan baik.

Fungsi sistem dan lembaga pendidikan dari segi sosiologis bagi kepentingan masyarakat
Dari segi sosiologis sistem dan lembaga pendidikan di dalamnya dapat dipandang sebagai badan yang mempunyai berbagai fungsi bagi kepentingan masyarakat, antara lain:
· Mengadakan perbaikan, bahkan perombakan sosial
· Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan mengadkan penelitian ilmiah
· Mendukung dan turut memberi sumbangan kepada pembangunan nasional
· Menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional
· Mengeksploitasi orang banyak demi kesejahteraan dolongan elite
· Mewujudkan revolusi sosial untuk melenyakan pengaruh pemerintahan terdahulu
· Mendukung golongan tertentu seperti golongan militer, industri atau politik
· Mengarahkan dan mendisiplinkan jalan pikiran generasi muda
· Mendorong dan mempercepat laju kemajuan IPTEK
· Mendidik generasi mudamenjadi arga negara nasional dan warga dunia
· Mengajar keterampilan pokok seperti membaca, menulis, dan berhitung
· Memberi keterampilan dasar berkaitan dengan mata pencaharian.

Sosiologi Sebagai Landasan Kurikulum
Kurikulum mutlak diperlukan dalam proses pendidikan karena tujuan dalam kurikulum itulah yang akan menghasilkan lulusan dengan kompetensinya. Oleh karena itu diperlukan kurikulum yang benar-benar menggali nilai sosial budaya serta mampu menyiapkan peserta didik untuk menghadapi perubahan zaman.
Menurut undang-undang SISDIKNAS no. 21 tahun 2003 tujuan pendidikan di Indonesia adalah melahirkan generasi yang bertaqwa, cerdas dan memiliki keterampilan hidup. Ketaqwaan dibangun dari nilai-nilai agama serta budaya yang santun. Kecerdasan dan keterampilan hidup ditumbuhkan dengan berbagai bacaan, eksperimen dan pelatihan. Jika dirunut kualitas atau keunggulan suatu generasi ternyata terletak pada karakter yang kokoh dan baik. Disinilah pentingnya memasukkan kurikulum untuk membangun karakter tersebut.
Kurikulum karakter bersumber pada nilai agama dan nilai sosial budaya yang terpuji. Bangsa kita yang mayoritas muslim dan secara turun temurun hidup dalam budaya yang harmonis serta gotong royong hendaknya menjadi acuan dalam penyusunan kurikulum sehingga kurikulum kita semestinya berisi tentang pengamalan agama yang benar, membudayakan kebiasaan gotong royong dan santun pada setiap jenjang pendidikan.
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

Kearifan lokal
Setiap bangsa memiliki kearifan lokal sesuai kondisi alam dan sosial budayanya. Kearifan lokal ini bersifat unik karena menjadi ciri khas dari bangsa tersebut. Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang memiliki semangat juang yang tinggi (Bushido) karena ditempa oleh alam yang rawan gempa dan minim kekayaan alam, demikian pula yang terjadi pada bangsa Korea. Indonesia sebagai bangsa yang besar, beragam suku, bahasa, budaya dan hidup di alam yang subur dan kaya memiliki berbagai keunikan pada setiap daerahnya. Keunikan inilah yang semestinya dijadikan sebagai pendekatan dalam pendidikan. Mendidik siswa dengan potensi kearifan lokal disebut In Situ Development.

Guru sebagai Role Model
Kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan melainkan juga sebagai sosok yang mengajarkan karakter yang baik. Setiap tutur kata, sikap dan perilaku guru akan menjadi inspirasi dan contoh bagi siswanya. Guru menjadi role model atau teladan bagi para siswa. Oleh karena itu guru hendaknya memiliki bekal ilmu yang mumpuni dan memiliki sikap serta perilaku terpuji. Diperlukan proses pendidikan guru yang benar-benar mampu melahirkan guru dengan karakteristik tersebut. Pada kenyataannya sekarang ini guru tidak banyak yang memiliki kualitas sebagai role model. Berbagai faktor yang mendasarinya seperti tuntutan ekonomi, budaya gelar dan gengsi serta potensi yang tidak sesuai (relevansi). Banyak orang ingin menjadi guru karena konon profesi guru menghasilkan income yang besar. Budaya gelar dan mengejar gengsi telah mendorong para siswa untuk kuliah dengan tujuan sekedar mendapat gelar kesarjanaan meskipun selama proses pendidikannya melakukan plagiatisme dan pada saat lulus memilki kompetensi dan kemandirian yang rendah. Banyak guru yang ‘menjadi guru’ karena terpaksa atau ikut-ikutan karena potensi dasar sebagai seorang guru yaitu senang dan semangat untuk mengajar memang tidak dimilikinya.
Guru yang mampu menjadi role model akan efektif mengajar nilai-nilai sosial budaya bagi para siswanya. Dengan demikian para siswa akan menjadi lulusan yang mampu mengarahkan kehidupan sosial dan budaya yang baik di masyarakat karena mereka menjadi role model di masyarakat. Pelajar saat ini adalah iron stocks(sumber daya manusia) yang akan mewarnai kehidupan sosial budaya di masa mendatang. Apapun profesinya, mereka akan memimpin dan mewarnai lingkungannya dengan karakter yang diperoleh semasa pendidikan.

Bahan bacaan atau referensi
Bahan bacaan atau buku adalah gerbang ilmu sekaligus rujukan. Buku-buku yang berkualitas mutlak diperlukan agar proses pemelajaran berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan. Saat ini kita masih sangat kekurangan bahan bacaan yang berkualitas terlebih lagi bahan bacaan yang memuat nilai sosial budaya sebagai landasan pendidikan. Buku-buku yang ada saat ini dominan berupa buku motivasi, kisah pesohor, kiat-kiat praktis dan komik-komik yang jauh dari nilai kebaikan. Buku-buku yang membahas tentang kehidupan sosial yang baik, kekayaan bahasa, budaya dan potensi unik setiap daerah masih sangat minim. Sehingga wajar jika nilai sosial budaya belum dimasukkan dalam proses pemelajaran.

Kesimpulan

Dalam membuat suatu kurikulum diperlukan kajian yang mendalam tentang budaya & kebiasaan masyarakat setempat. Kurikulum tidak boleh melanggar adat istiadat & tata karma masyarakat setempat. Apabila kurikulum melanggar adat istiadat dikhawatirkan menyebabkan masalah-masalah social baru seperti cultural lag bahkan konflik horizontal.

Untuk mengetahui adat istiadat masyarakat setempat diperlukan penelitian berupa observasi atau wawancara langsung terhadap masyarakat setempat. Observasi dipilih sebagai metode penelitian yang tepat dikarenakan hukum adat bersifat abstrakdan tidak tertulis (konvensi). Biasanya hukum ini terlahir setelah adanya kesepakatan nonformal masyarakat setempat.

Kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut dalam bentuk skill/keahlian khusus yang bermanfaat bagi lingkungannya. Diutamakan sebuah kurikulum dapat membimbing masyarakat menjadi sumberdaya yang produktif dalam mengolah potensi alam & social secara efisien.

Kondisi sosial budaya mempengaruhi proses pemelajaran dan lulusannya.Pendidikan akan melahirkan lulusan yang akan menjadi insan yang mempengaruhi kondisi sosial budaya di masa mendatang. Diperlukan kurikulum yang memuat nilai-nilai sosial budaya termasuk kearifan lokal. Pendidikan berbasis sosial budaya mutlak membutuhkan guru sebagai role model dan bahan bacaan yang berkualitas.


Makalah Pengantar Kurikulum Kelompok 3
Dosen: Dr. Khaerudin, M.Pd.
Wisnu Ari Susilo (1215120019)